Perspektif Pengawas Pemilu
Penulis : Fatimah Rahmayani
Pemilihan umum adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan
kedaulatannya. Kedaulatan rakyat adalah cikal bakal lahirnya konsep demokrasi, dalam
konteks ini demokrasi merupakan sistem yang tiada duanya atau tidak ada pilihan lain
untuk menggunakannya sebagai salah satu sistem pemerintahan yang baik. Karena
tidak ada sistem lain yang lebih layak dan baik, yang dapat digunakan selain demokrasi.
Keadilan Pemilu berkaitan dengan nilai asas atau prinsip yang membingkai
keseluruhan proses dan hasil Pemilu, Keadilan Pemilu merupakan asas Pemilu yang
secara konstitusional ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 bahwa
“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
setiap lima tahun sekali”.
Keadilan pemilu sendiri memiliki 4 indikator yaitu :
1) Kesetaraan bagi seluruh
elemen yang terlibat dalam proses pemilu, termasuk dalam penegakan hukum.
2) Kepastian hukum dalam setiap tahapan dan proses penyelesaian sengketa dan
pelanggaran.
3) Penyelenggara Pemilu yang independen, profesional, dan
berintegritas.
4) Kontestasi yang bebas dan fair.
Jika melihat Pemilu tahun 2019 dan Pilkada tahun 2020 silam, dapat kita simpulkan 3
(tiga) aspek yang menjadi problematika bagi Penyelenggara Pemilu, yaitu:
Pertama, Aspek tata kelola pemilu, dalam tata kelola pemilu. Yang menjadi problematika adalah
Pemilu 5 Kotak, dimana Beban kerja penyelenggara menjadi tidak proporsional,
potensi kekeliruan teknis besar dan Dominasi isu Pilpres dibanding jenis Pemilu lain.
Kedua, Aspek Ketaatan Peserta maupun Pemilih Pada Prinsip Pemilu/Pilkada jujur dan
adil, yang menjadi problematika adalah Praktik Money Politic, Pelanggaran Netralitas
ASN, Pelanggaran Pasal 71 UU Pilkada dan Pelanggaran Pemungutan Suara di TPS.
Ketiga, Aspek Penegakan Hukum, yaitu meliputi “grey area” Implikasi putusan institusi
penegak hukum Pemilu, Perbedaan penafsiran terhadap unsur tindak pidana Pemilu
dalam forum Sentra Gakumdu, Waktu penanganan pelanggaran dan penyelesaian
sengketa yang berbeda antara Pemilu dan Pilkada, Produk penanganan pelanggaran
administrasi Pilkada berupa rekomendasi, dan Permasalahan syarat calon di tahap
pengusulan pelantikan calon terpilih.
Lalu, apa yang menjadi tantangan Penyelenggara Pemilu dalam mengahadapi
pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 ?
Penulis menyimpulkan sedikitnya ada tiga problem yang menjadi tantangan bagi
penyelenggara dalam pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah
serentak tahun 2024, yaitu:
1) Problem Makro, yaitu Adanya ketentuan dalam UU Pemilu/Pilkada yang
multitafsir, sehingga membuat penyelenggara rentan dipersoalkan secara etik bahkan
Pidana.
2) Problem Teknis, yaitu irisan tahapan antara Pemilu dan Pilkada, Kesulitan akses
jaringan teknologi informasi di berbagai daerah (terutama wilayah Indonesia Timur).
Kendala geografis di daerah yang terisolir, dan Keterbatasan waktu rekapitulasi
penghitungan suara dan pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU).
3) Problem SDM ad Hoc, yang menjadi kendala adalah Kesulitan penyelenggara
(KPU dan Bawaslu) dalam rekruitmen SDM ad hoc yang selanjutnya mengarah pada
Kapasitas atau kemampuan SDM ad hoc dalam melaksanakan persiapan dan
pelaksanaan pungut hitung.
Melihat ketiga problem yang penulis paparkan diatas, penulis menawarkan strategi
yang dapat dilakukan oleh penyeenggara untuk siap menghadapi dan mensukseskan
Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2024, yaitu:
Pertama, Pengaturan jeda waktu yang proporsional antara Pemilu dengan Pilkada.
Kedua, Sosialisasi yang efektif seluruh jenis Pemilu/Pilkada; ketiga, Penyamaan
Persepsi antar penyelenggara (KPU, Bawaslu, dan DKPP) dengan melakukan
identifikasi potensi masalah teknis dan hukum serta kerangka penyelesaiannya.
Dan yang keempat Optimalisasi sarana pengawasan Bawaslu dan Pengawasan Partisipatif.